STAIM - Mataram - Setiap ibadah pasti ada tujuannya. Sholat misalnya bertujuan mencegah dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam AQ surat 29:45 :

ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر.

Demikian pula dengan puasa bertujuan mencetak orang - orang bertaqwa sebagaimana firman Allah dalam AQ surat 2:183:
 يايهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كماكتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.

Tentunya ibadah- ibadah yang lainpun mempunyai tujuan pula. Namun demikian muncul sebuah pertanyaan...
sejauh manakah tujuan ibadah itu kita gapai?
Mungkin hari ini kita sudah berumur 50 tahun berarti paling tidak kita sudah 40 tahun mendirikan sholat atau 40 tahun kita menjalankan puasa, itu kalau kita mulai aktif menjalankan ibadah sejak umur 10 tahun. Coba kita bertanya kepada diri kita sendiri sudahkah kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar... sudah kah kita tidak berbuat maksiat, sudahkah kita berlaku amanah, sudahkah kita tidak korup dll.
Dan mari kita lihat kualitas shalat taraweh kita, jujur...terkadang kita tergesa-gesa jauh dari rasa tenang, jauh dari kesan bahwa kita sedang berdialog dan bermunajat dengan Allah  SWT. apalagi menikmati munajat itu. Dalam ibadah puasa sudahkah kita menikmati lapar dan haus kita sehingga tidak memikirkan lagi ikhtiar untuk mengusir rasa lapar dan haus itu dengan ngabuburit dan berharap saat berbuka segera tiba.
Coba pula kita bertanya dengan capaian riyadloh puasa kita sudahkah kita menjadi orang yang jujur.. sudahkah kita menjadi orang yang mimiliki kesalehan sosial... orang yang ikhlas dalam beramal misalnya...karena puasa mengajarkan hal itu . Tentu secara jujur pula jawabannya belum.

Paling tidak ada 3 faktor yang menyebabkan tujuan ibadah belum kita gapai

1.    Dalam beribadah kita terjebak hanya dalam peme nuhan syarat dan rukunnya saja, tidak serius tidak ber sungguh-sungguh seperti nya hanya mencari sah saja sehingga terasa kering, ibadah tidak kita nikmati. Padahal kita telah mendengar firman Allah dalam surat 29:69 yang berbunyi:

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين            

Artinya: Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridlaan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh Allah beserta orang-orang yang berbuat baik (muhsin). Ternyata kita belum menjadi orang yang MUHSIN dalam ber ibadah. Sekali lagi mari kita coba tengok ibadah puasa kita... kita belum bisa menahan syahwat mulut dari ghibah, dari dusta, syahwat mata dari melihat ma'shiat, syahwat perut dari makan berlebihan, sudah sesuaikah cara berbuka kita dengan tuntunan Nabi. bahkan dari aktifitas yang lagho ( tidak bermanfaat ) seperti praktek-praktek ngabuburit pada umumnya. Bukankah Nabi mengajarkan kita :

ليس الصيام من الاكل والشرب وانماالصيام من اللغو والرفث

Puasa itu bukan cuma tidak makan dan tidak minum, akan tetapi juga tidak melakukan perbuatan lagho (yang tidak berguna) dan kotor. Untuk itu maka Nabi mangajarkan aktifitas dibulan Ramadlan harus dipastikan ada guna dan manfaat seperti banyak iktikaf di masjid, banyak membaca Al Qur'an..

2.    Salah niat dalam ber ibadah. Telah kita dengar dalam sebuah hadits yang sangat populer Nabi telah memberikan arahan:

انماالأعمال بالنيات    

Sesungguhnya keabsahan suatu amal itu tergantung pada niatnya. Mari kita ambil contoh...puasa misalnya masih ada orang menjalani laku puasa dengan tujuan ingin sakti, ingin kebal, ingin memikat lawan jenis. Tujuan puasa dalam firman Allah la'allakum tattaqun seolah menjawab tujuan-tujuan yang tidak benar itu. Disadari motifasi orang melaksanakan ibadah itu ada 3 macam. Ada yang bermental pedagang... ia akan selalu mencari keuntungan dalam ibadahnya sebagaimana mencari keuntungan dalam bisnisnya baik duniawi maupun ukhrawi, ia mau shalat atau puasa untuk mendapat pahala, untuk mengejar sorga (meskipun motif ini tidak salah). Ada yang berfikir rasional... ia cari hikmah-hikmah dibalik ibadah itu. Ia kejar hikmah-hikmah dibalik ibadah itu. Ia berpuasa karena puasa itu mangantarkan kita untuk menjadi orang yang sehat sebagaimana sabda Nabi
 صوموا تصحوا Puasalah kalian, maka kalian akan sehat.
Ia meninggalkan marah karena marah itu mengantarkan beribu urat syaraf tegang sehingga mengantarkan kepada derita sakit. Maka ia cari nilai-nilai dibalik ibadah itu Ada yang emosional ... ia melaksanakan ibadah bukan karena ingin pahala bahkan bukan karena ingin masuk sorga, akan tetapi karena keterlibatan emosi atas kesadaran kebaikan dan manfaat semua perintah ibadah oleh Allah, ia beribadah semata-mata mengharap ridho Allah. Nabi sendiri tahajjud begitu lama sampai pecah- pecah kaki Nabi bukan karena mengharap sorga tapi hanya ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur

افلا اكون عبداشكورا

Nabi Ibrahim rela menyembelih putranya Nabi Ismail hanya karena semata - mata itu perintah Allah...dan pasti perintah itu baik walaupun tidak dapat tertangkap nalar waktu itu.
Ketika Sayyidina Umar hendak mencium hajar aswad beliau berkata: sesungguhnya aku tahu engkau batu tidak dapat memberikan manfaat atau mudlarrat, seandainya aku tidak melihat Rasulullah mencium kamu niscaya aku tidak menciummu. Begitu besar pelibatan emosi Sayyidina Umar dalam melakukan apa yang dilakukan oleh Rasululah, terlepas dari tahu atau tidak tahu apa makna dibalik yang dilakukan oleh Rasulullah.
Motif dan niat-niat semacam inilah dan atas kesadaran bahwa apapun yang menjadi ketetapan Allah dalam ibadah pasti mengandung kebaikan dan manfaat yang akan menghantarkan seseorang menggapai tujuan ibadah itu sendiri.

3.    Tidak/ kurang ikhlash dalam beribadah. Syekh Musthofa Al Ghulayani berkata:

العمل جسم وروحه الإخلاص

Amal itu adalah tubuh ruhnya adalah ikhlash. Aktifitas ibadah tanpa ikhlash ia akan kering, ia tidak akan membawa kenikmatan, kesejukan bagi pelakunya, sebab ia akan sibuk mengejar prestise dan mencari sanjungan dan pujian dari selain Allah. Dan celakanya lagi ia akan resah bahkan stres manakala sanjungan/pujian tidak didapatkan.

Ada sebuah maqolah manis dari Sayyidina Ali yang barangkali baik untuk kita jadikan sebagai azimat kita dalam beribadah:

كن عندالله خيراالناس وكن عندالنفس شراالناس

Jadilah kamu menurut pandangan Allah sebaik-baik manusia, dan jadilah kamu menurut pandangan diri sendiri sejelek-jelek manusia.
Ketika seseorang hanya mengharap prestasi dan reward dari Allah dan reward itu adalah ridlo Allah tentu ia akan berikhtiar sebaik mungkin dalam kualitas ibadah, dan ia akan selalu menilai diri ini jelek, penuh kekurangan sehingga selalu dan selalu pula berikhtiar menutupi kekurangan-kekurangan itu.
Memang nampaknya kita masih perlu berikhtiar keras untuk menyempurnakan kualitas ibadah kita disamping persyaratan formal keabsahan suatu ibadah juga perlu pemaknaan substansi ibadah.
Akhirnya hanya kepada Allah kita berharap rahmat taufiq dan hidayahNya selalu menyertai ibadah kita.

Kiranya tulisan ini bermanfaat kepada kita sebagai renungan Ramadlan
Wallahu a'lamu bisshowab
Oleh (Drs. KH. Abdullah Cholil.M.Hum)
Editor. Moh. Junaidi